Hari raya Galungan adalah hari raya umat Hindu. Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan). Perayaan ini bertujuan sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan), dikutip dari .
Hari Raya Galungan identik dengan penjor yang dipasang di tepi jalan. Penjor adalah bambu yang dihias sedemikian rupa sesuai tradisi masyarakat Bali setempat. Lantas, apa arti kata Galungan dan bagaimana rangkaian hari rayanya?
Hari Raya Galungan ialah hari dimana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya, dan merayakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma). Menurut penjelasan dalam laman , kata Galungan diambil dari bahasa Jawa Kuna yang berarti bertarung. Galungan biasa disebut juga “dungulan” yang artinya menang.
Adapun Galungan dan Kuningan dirayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi. Jarak antara perayaan Galungan dan Kuningan adalah 10 hari. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut berdasarkan kalender Bali.
Galungan setiap hari Rabu pada wuku Dungulan. Sementara Kuningan setiap hari Sabtu pada wuku Kuningan. Pada hari Jumat Wage Kuningan yang juga disebut hari Penampahan Kuningan.
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga/Tumpek Bubuh/Tumpek Pengatag/ Tumpek Pengarah. Tumpek Wariga jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga, Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa kemakmuran dan keselamatan tumbuh tumbuhan.
Tradisi masyarakat untuk merayakan Tumpek Wariga adalah dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna. Pada hari Tumpek Wariga, semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubuh disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil menguacpkan doa.
Sugihan Jawa berasal dari 2 kata, yaitu Sugi (bersih, suci) dan Jawa (luar). Sehingga, Sugihan Jawa diartikan sebagai hari pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang.
Umat Hindu melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon untuk menetralisir segala sesuatu yang negatif di luar diri manusia, yang disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Sugihan Bali adalah penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (dalam).
Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang Hari Penyekeban bertujuan untuk “nyekeb indriya”, yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal hal yang tidak dibenarkan oleh agama.
Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan. Penyajan berasal dari kata Saja, yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini bertujuan untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan.
Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari Penyajan dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan. Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan.
Umat Hindu akan disibukkan dengan pembuatan penjor, yang dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan. Selain membuat penjor, umat Hindu juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia.
Sehingga, masyarakat membuat suguhan khusus yang ditujukkan kepada leluhur yang “menyinggahi” mereka di rumahnya masing masing. Upacara Galungan dimulai dari persembahyangan di rumah masing masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Bagi umat Hindu yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus Makingsan di Pertiwi (mapendem/dikubur), maka ia wajib membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra Kuburan.
Pada umanis Galungan, umat Hindu akan melaksanakan persembahyangan, yang dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara. Anak anak akan melakukan tradisi Ngelawang pada hari Umanis Galungan. Ngelawang adalah sebuah tradisi, di mana anak anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang).
Penduduk yang mempunyai rumah tersebut akan keluar sambil membawa canang dan sesari/uang. Penduduk percaya, dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan.
Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru. Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon), dan Guru adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hari Pemaridan Guru adalah hari nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru.
Pemaridan Guru dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan. Kata Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur.
Ulihan dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan. Pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek atau tegar, dalam bahasa Bali. Makna pemacekan agung adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan.
Hari Pemacekan Agung dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan. Hari Suci Kuningan dirayakan dengan cara memasang tamiang, kolem, dan endong. Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra
Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur umat Hindu saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran.
Selain penggunaan warna kuning, keunikan hari raya Kuningan adalah persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang. Menurut kepercayaan Hindu, persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima Bhuta dan Kala, karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hari Pegat Wakan adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan.
Pegat Wakan dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.